Thursday, December 11, 2014

OTENTITAS HADIST



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hadist sebagai gambaran kehidupan Rasulullah Saw, dalam perjalanan sejarahnya telah mengalami banyak cobaan dan rintangan, satu diantaranya, hadist terlambat dibukukan satu abad lebih bila dibandingkan dengan al-Qur’an. keadaan ini telah memaksa para ahli untuk bekerja keras menghimpun dan menyeleksinya, sehingga diketahui mana hadist dan mana yang bukan hadist. Untuk memisahkan keduanya para ahli mengembangkan berbagai metode penelitian, membeut istilah sekaligus kritik. Ilmu kritik ini dikembangkan adapaun tujuannya adalah: pertama: untuk mengetahuai otentitas suatu riwayat, dan kedua, untuk menetapkan validitasnya dalam rangka menetapkan suatu riwayat.[1]
 Mengingat begitu pentingnya masalah kritik hadist ini penulis mencoba untuk menyusun makalah yang akan secara khusus  membahas tentang hadiat outentik serta komponen-komponennya diharapkan dengan hadirnya makalah ini dapat menjadi jawaban mengenai permasalahan seputar otentitas hadist.


B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah  yang dimaksud dengan hadist?
2.      Apa saja komponen-komponen hadist?
3.      Bagaimana suatu hadist dapat dikatakan hadist yang outentik?

                                                                                                                                                      




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertain Hadist
Menurut Ibn Manshur kata hadist berasal dari bahasa Arab, yaitu al-hadist, al-hadistandan al-hudsan.Secara etimologis, kata ini memiliki banyak arti, diantaranya al-jadid (yang baru) lawan dari al-qadim (yang lama), dan al-khabar, yang berarti kabar atau berita.Disamping pengertian tersebut, M.M. Azami mendefinisikan bahwa kata hadist secara etimologi berarti komunikasi, kisah, percakapan, religius atau sekular, historis atau kontemporer.[2]
Menurut Al-Warra’ hadist sebenarnya jama’ dari uhdutsan, namun sebagian ulama menetapkan, bahwa lafadz ahadist jama’ dari hadist yang tidak menurut qiyas, atau jama’ yang syadz, semantara Az Zakrkassyy dalam Al Bahr Ull Muhith mengatakan bahwa lafadz hadist bukan isim jama’ dia jama’taksir bagi hadist yang tidak menurut qiyas seperti abathil, tidak ada yang sewazan dengan ini.[3]
Secara terminologis, para Ulama, baik muhaditsin, fuqoha, ataupun ulama ushul, merumuskan pengetian hadist secara berbeda-beda. Pandangan tersebut. Perbedaan bandangan tersebut lebih disebabkan oleh terbatas dan luasnya objek tinjauan masing-masing yang tentu saja mendukung kecendrungan pada aliran ilmu yang didalaminya. Namun garis garis besarnya hadist secara terminologis adalah segala berita yang berkenaan dengan sabda, perbuatan, taqrir, dan hal ikhwal nabi Muhammad Saw.Yang dimaksud hal ikhwal adalah segala sifat dan keadaan pribadi Nabi Saw.[4] Karena itu Rasullullah Saw kemudian disebut sebagai teladan muslimin sebagai sebuah pedoman yang sanagt penting, hadist menjadi medan ilmu yang menarik bagi para ulama. Terlebih Rasulullah menempatkan mereka sebagai pewarisnya.[5]
Hadist memiliki kedudukan yang istimewa dalam Islam, ini karena hadist adalah rujukan hukum yang utama dilevel kedua setelah al-Qur’an. Keduanya saling melengkapi. Hadist memberikan detail dan aplikasi dari perintah ataupun larangan yang bersifat umun di al-Qur’an. [6]
Kata hadist ini banyak 23 arti zkali didalam al-Qur’an, antara lain: QS. Az-Zumar: 23, dalam arti komunikasi religious, pesan atau al-Qur’an kemudian dalam QS- Al-An’an: 68 yang berarti cerita tentang masalah secular atau umum dan QS. Thaha :9 mempunyai arti cerita historis serta dalam QS. Tahrim :3 yang berarti perbincangan yang masih hangat. Rasulullah juga telah menggunakan kata hadist ini untuk mengucapkan makna yang sama dengan yang digunakan di dalam al-Qur’an. Rasulullah juga menyebut dirinnya sebagai hadist (sumber hadist), yang mengisyaratkan bahwa hadist adalah yangbersumber dari diri Rosulullah sendiri bukan dari sumber lain. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa Nabi sendiri adalah peletak asal mula penggunaan kata hadist yang diisyaratkan secara khusus.[7]
B.     Komponen-komponen hadist
Secara struktur, hadist teridiri dari tiga komponen, yakni sanad atau isnad (rantai atau penutur), matan (redaksi hadist), dan makharij (rawi).
1.      Sanad
Dari segi bahasa berarti,yaitu bagian dari bumi yang menonjol, sesuatu yang dihadapan anda dan yang jauh dari bukit ketika anda memandangnya. Adapun tentang pengertian sanad menurut terminology jalan yang mnyampaikan kepada matan hadist.
Sebuah hadist memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur atau perawi bervariasi dalam lapisan sanadnya, lapisan dalam sanad disebut thaqabah. Sighnifikasi jumlah sanad an penutur dalam tiap thaqobahsanad akan menentukan derajat sebuah hadist.[8]
2.      Isnad, Musnad, dan Musnid
Isnnad adalah menyandarkan, menegaskan (mengembalikan keasal dan mengikat, Istilah Al- Isnad berarti menyandarkan, menegaskan (mengembalikan  yang dimaksud disini adalah menyandarkan hadist kepada orang yang mengatakannya. Al- Musnad memiliki arti yang berbeda dengan al-isnad, Pertama yaitu berarti hadist yang diriwayatkan dan disandarkan atau di-isnad-kan kepada orang yang  membawakannya, kedua berarti nama suatu kitab yang menghimun hadist-hadist dengan system penyusunan berdasarkan nama-nama shahabat rawi hadist, Keduanama bagi hadist yang memenuhi kriteria marfu’ (berdasarkan kepada Nabi Saw) dan muttashil (sanadnya bersambung sampai kepada akhirnya)
3.      Matan
Secara etimologis matan berarti segala sesuatu yang keras bagian atasnya, punggung jalan (muka jalan), tanah keas yang tinggi.Adapun arti matan dalam dalam ilmu hadist adalah perkataan yang disebut pada akir sanad, yakni sabda Nabi Saw yang disebut ssudah hadist disebutkan sanadnya.  Atau dengan kata lainmatan adalah redaksi hadist. [9]
4.      Rawi
Kata rawi atau ar-rawi  atau berarti orang yang meriayatkan atau memberikan hadist (Naqil Al-Hadist). Sebenarnya antara sanad dan rawi itu meupakan dua istilah yang hampir sama. Akan tetapi yang membedakan ada dua hal yaitu: Pertama, dalam hal pembukuan hadist orang yang menerima hadist –hadist kemudian menghimpunnya dalam suatu kitab tadwin, disebut dengan rawi. adapun orang-orang yang menerima hadist dan hannya menyampaikan kepada orang lain, tanpa membukakannya disebut sanad hadist.[10]
Kedudukan sanad dalam hadist sangat penting karena hadist yang diperoleh/diriwayatkan akan mengikuti siapa yang meriwayatkannya. Dengan sanad suatu periwayatan hadist, dapat diketahui hadist yang dapat diterima atau ditolak dan hadist yang shahih maupun haist yang tidak shohih untuk diamalkan. Sementara sanad adlah jalan yang mulia untuk menetapkan hokum-hukum Islam. Para ahli hadist samngat berhati-hati dalam menerima suatu hadist, kecuali apabila mengenal dari siapa perawi hadist tersebut menerima hadist tersebut dan subber yang disebutkan benar-benar dapat dipercaya. Pada umumnya, riwayat dari golongan sahabat tidak ddiisyaratkan untuk menerima periwayatannya. Akan tetapi, mereka pun sangat berhati-hati dalam menerima hadist.[11]
C.     Krireria Otentitas Hadist
Penelitian hadist di lingkungan kesarjanan Islam meliputi penelitian tentang otentitas sanad dan penelitian tentang otentitas matan.Oleh karena itu kriteria otentitas hadist meliputi kriteria otentitas sanad dan kriteria otentitas matan.[12]
1.      Kriteria Otentitas Sanad hadist
Para per-rawi hadis telah menyepakati bahwa untuk dinyatakan shahih (otentik) harust harus memenuhi lima kriteria, yaitu 1. Sanatnya bersambung 2.Rawinya adil 3. Riwayatnya dabit 4. Bebas dari syuzuz(anomaly)  dan5. Bebas dari illat (catat tersembunyi) kriteria ini telah mendaat pengesahan dalam tulisan Ibn as-Salah (w. 646/1248 ) dan na-Nawawi (w. 676/1277) .ibn as-Salah ketika mendefinisiakn hadist shahih menyebut unsur-unsur ini dalam deinisinya. Ia menegaskan  bahwa hadist shahih adalah ’’hadist musnad yang bersambung sanatnya melalui rawi yang adil dan dabit dari rawi yang adil dan dabit pula sehingga sampai akir sanat serta tidak syaz dan tidak berillat. Demikian pula an-Nawawi mendefinisikan hadist shahih sebagai hadist yang bersambung sananya melalui rawi-rawi dabit dan adil tanpa anomaly (syuzuz) dan tanpa cacat tersmbunyi (illah) kedua definisi ini memuat lima kriteria diatas.[13]
Kelima kriteria untuk otentikasi hadist tersebut diatas meliputi kriteria otentitas sanad dan kriteria otentitas matan.Tiga kriteria pertama khusus untuk otentitas sanad dan dua yang terakir yaitu bebas dari syuzuz (anomali) dan cacat tersembunyi) adalah kriteria bagi otentitas sanad dan sekaligus kriteria otentitas matan.Apabila dipisahkan, maka kriteria otentitas sanad meliputi a. bersambungan sanad b. Keadilan rawi.c. kedabitan rawi d. Keterhinaan sanad dari syuzuz (anomali) dan e. keterhinaan sanad dari cacat tersembunyi (illat) sedangkan kriteria otentitas matan adalah Keterhindaran matan dari syuzuz (anomali) dan  Keterhindaran matan dari illat (cacat tersembunyi).
Sedangkan bila dicermati penelitian hadist dilingkungan ahli hadist, maka kritik matan yang mereka lakukan sungguh terfokus kepada titik format matan engan melihat apakah matan terbaik, terkontaminasi dengan unsur sisipan, mndapat tambahan, mengalami perubahan dan seterusnya. Disisi lainfukaha dan ahli ushul fikih Hanafiah mengajukan suatu model kritik matan yang lebih setuju pada substansi maka dengan pertimbangan pitimologi koherensi. Mengabungkan dua model ini dapat dinyatakan bahwa kriteria otentitas matan hadist dapat diklasifikasi menjadi dua macam, yaitu Kriteria formal otentitas matan dan Kriteria substansial otantitas matan. Kiteria formal otentitas matan meliputi bebas dari syuzuz (anomali) dan bebas dari illat(cacat tersembunyi).[14]
Menurut Syuhudi Ismail, kriteria mayor dalam otentikasi sanad hadist hanya tiga saja, yaitu: Ketersambungan sanad, Keadilan rawi, Kedabidan rawi. Kriteria selain itu menurutnya adalah bukan kriteria pokok, melainkan unsusr saja dari kriteria pokok ketiga. Yaitu kedabitan rawi dalam kata –kata Syuhudi ismail sendiri, kritria keempat dan kelima adalah kriteria minor dari kriteria mayor kshahihan sanad  hadist. Oleh karena itu kritria ketiga, kedhobitan rawi menurut Syuhudi Ismail memiliki empat rincian unsur, yaitu menguasai dengan sempurna materi hadist yang diterimanya,  Mampu menyampaikan materi hadist itu dengan baik, terhinar dari syuzuz(anomali) dan Terhindar dari illat (cacat tersembunyi).
Dalam kaitannya dengan keshahihan sanad suatu sanad hadist dinyatakan bersambung bila memenhi dua unsur yaitu:tidak ada keterputusan dalam sanad dan hal itu ditandai oleh adanya pertemuan atau paling tidak kesezananan. Antara dua rawi berurutan, bersumber kepada  Nabi Saw (marfu) dalam arti bukan kaul sahabat apalagi  tabiin,
Sedangkan rawi yang adil adalah rawi memenuhi unsur-unsur, adapun unsur-unsurnya adalah: beragama Islam dalam  meriwayatkan hadist,  Mukalaf,  Menjalankan ketentuan agama dan Memelihara citra baik diri (muru’ah) termasuk hadist yang tidak memenuhi syarat ini adalah:
a.       Hadist matruh yaitu hadist yang tidak merupakan kebohongan, tetapi jelas hadist yang bukan berasal dari rasul
b.      Hadist matruk yaitu hadist yang diriwayatkanoleh rawi yang tertuduh sebagi pendusta meskipun hadist itu tidak terbukti merupakan kedustaan, akan tetapi jelas dari orang yang tertuduh pelaku dusta
c.       Hadist mauduk (palsu) yaitu haist yang terbukti merupakan hasil kedustaan.
Rawi dabit dalam konteks keshahihan sanad mnunjukan arti bahwa ia menguasai dengan sempurna materi hadist yang diterimanya dan mampu menyampaikan materi haidst itu dengan baik. Kriteria bebas dari anomali (syuzuz) unsurnya adalah tidak ada penimpamgan sanad suatu hadist terhadap sanad lain dari hadist yang sama dan lebih banyak jumlahnya bebas dari cacat trsembunyi berarti: Tidak terjadi penilaian rawi tdak terpercaya sebagai terpercaya, tidak terjadi penilaian sanad terputus sebagi sanad bersambung dan Tidak terjadi pembacaan nama rawi secara salah atau mengalami perubahan yang dilakukan oleh rawi kemdian.[15]
Dari yang dikemukakan diatas terlihat bahwa sebab kedhaifan hadist terlihat bahwa sebab kedhaifan hadist dari segi sanadnya dapat dipisahkan menjadi dua macam:
a.       Karena keterputusan sanad
b.      Karena cacat pada rawi yang menyebabkan hadistnya ditolak meskipun sanad hadistnya bersambung.
Cacat pada rawi dapat meliputi tiga segi yaitu  :cacat pada kualitas moral (tidak adil), cacat kapasitas intelektual (tidak dabit), Karena ketidakjelasan identitas sehingga tidak diketahui kualitas moral dan kapasitas intelektualya.[16]
2.      KriteriaOtentitas  Matan Hadist
Ada dua kriteria otentitas matan yaitu bebas dari syuzuz dan bebas dari illat.Kriteri-kriteria otentitas hadist berupa bebas dari syuzuz dan bebas dari illat sebagaimana dipraktekkan oleh ahli hadist lebih setuju kepada format matan, yaitu apakah matan trbaik mendapat tambahan, mendapat sisipan, mengandung kontradiksi internal dan seterusnya. Sementera dari pihak lain terdapat kriteria otentitas matan yang dilihat dari sudut tingkat koherensinya dengan makna-makna dasar yang telah dietrima oleh ajaan Islam. oleh karena itu kriteria otentitas matan hadist dibedakan menjadi dua macam yaitu: kriteria otentitas matan dan  kriteria substansial otentitas matan. Karena kedua kriteria itu ditujukan untuk melakukan kritik matan, maka keduanya secara berurutan dapat pula disebut kriteria formal kritik matan dan kriteria substansi kritik matan.
a.       Kriteria formal otentitas matan: bebas dari syuzuz dan illat
dengan memperhatikan kajian para ulama tentang ke-daifan hadist dari segi matan. bebas dari syuzuz (anomali) sebagai kriteria fomal otentitas matan memiliki tiga unsur yaitu: Bebas dari pertentangan, Bebas dari pencemaran  dan bebas dari kesalahan atau keliruan. Sementara bebas dari illat sebagai kriteria formal kritik matan mencakup unsur-unsur :Bebas dari kontradiksi internal  dan Bebas dari adanya interpenetrasi matan (percampuran satu matan dengan yang lain).jadi secara kesluruhan unsur kiteria matan ada lima: tiga merupakan unsur bebas dari syuzuz dan dua merupakan unsur bebas dari illat.
b.      kriteria substansional otentitas matan: bebas dari inkoherensi
Unsur tiga dari bebas illat adalah bebas dari inkohrensiunsur kriteria kritik substansional matan. Bebas dari inkohorensi adalah terciptanya makna hadist itudan bebasnya maknanya dari inkoherensi, dengan sejumlah makna yang sudah ditrima dan diakui.Kriteria ini lebih banyak terkait dengan substansi makna yang menjadi isi hadist daripada terkait kepada format matan. Bagaimana dengan kriteria format matan seerti apakah matannya terbaik susunannya atau tidak apakah berbeda dengan matan hadist lain serupa aapakah matannya ada tambahan atau kesalahan tulis dan seterusnya, maka dalam kriteria substansional, hadist lebih dilihat pada substansial, hadist lebih dilihat pada substansi makna yang terkandung didalammya.[17]


BAB III
PENTUP
A.    Kesimpulan
1.      Hadist adalah segala berita yang berkenaan dengan sabda, perbuatan, taqrir, dan hal ikhwal Nabi Muhammad Saw.
2.      Komponen hadist adalah sanad atau isnad (rantai atau penutur), matan (redaksi hadist), dan makharij (rawi)
3.      kriteria otentitas hadist meliputi kriteria otentitas sanad dan kriteria otentitas matan hadist
B.     Saran
Demikianlah apa yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini. Tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya karena keterbatasan pengetahuan dan kekurangan rujukan atau referensi yang berhubugan dengan makalah ini, penulis berharap mengenai kritikan dan masukan terhadap makalah ini, semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan umumnya bagi pembaca yang budiman.










C.    DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Syamsul. Interkoneksi Studi Hadist dan Astronomi.Yogyakarta: suara Muhammadiyah, 2011.
Emawati, Analisis Historis, Hadis dan Sunnah sebagai LandasanTradisi dalam Islam, Ulumuna, XV (Desember, 2011).
Kheruman, Badri. Otentitas Hadist. Bandung: PT. Remaja Rosakarya Offset, 2004.
Shiddiqy, Ash Shiddiqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist. Yogyakarta: PT. Bulan Bintang, 1974.
Sholihudin, M., Suyadi, Agus.Ulumul Hadist. Bandung:  CV. Pustaka Setia, 2011.
Thahan, Mahmud. Ulumul Hadist.  Yogyakarta: Titan Ilahi Press, 1997.





[1] Badri Kheruman, Otentitas Hadist Studi kritis Atas Kajian Hadist Kontemporer (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset, 2004), 6
[2]Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadist (Bandung: Pustaka Setia), 13
[3]M.  Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Uadist (Yogyakarta: PT Bulan Bintang), 21.
[4]Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul ……….,Ibid. 15
[5] Mahmud dan Harun, Penyulihan Hadist-hadist Hukum dalam Kitab Bulughul Maram bagi jamaah masjid an-Nur Jambon RT 01/05 Ngadorojo, Kartasura Sukoharjo ,Vol 16 (maret, 2014), 32

[6]Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul ……,5
[7] Emawati, Analisis Historis, Hadis dan Sunnah sebagai LandasanTradisi dalam Islam, Ulumuna, XV (Desember, 2011), 368

[8]Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul……,89
[9] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul…….., 97
[10] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul…….,99
[11]Shalahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadist (Bandung CV Pustaka Setia), 101
[12]Syamsul Anwar, Interkoneksi Studi Hadist dan Astronomi (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah), 27
[13]Ibid, 27
[14]Ibid ,29
[15]Ibid, 30
[16]Ibid, 31
[17]Ibid, 32

No comments:

Post a Comment