A.
Pendahuluan
Hidup
manusia tidak lepas dari kisah, manusia adalah makhluk berkisah,
mengkomunikasikan diri dengan kisah dan saling mengenal melalui kisah. Bahkan
bisa dikatakan hidup manusia adalah kisah dan manusia beradaupakan dalam jaringan kisah ini. Bambang Sugiharto
mengatakan bahwa manusia adalah binatang yang bercerita, karenanya kisah
merupakan salah satu identitas manusia yang membedakan manusia dengan makhluk
lainnya, betapa mengafumkan bahwa umat manusia dari segala jenis dan lokasi
yang berbeda mampu berkomunikasi dan bahkan berkisah satu sama lain.[1]
Manusia
adalah makhuk yang berkisah, dan dalam kisah manusia pasti membentuk sebuah
peradaban dan peradaban itu pastinya dibukukan. Namun karena keterbatasan ilmu
manusia dan perbedaan lokasi dan budaya menyebabkan perbedaan penafsiran. Tidak
dapat dipungkiri perbedaan budaya mempengaruhi pola piker dan penafsiran
seseorang. Karena itu makalah ini akan membahas tentang hermeneutika atau dalam
bahasa Indonesia dikenal dengan penafsiran. Makalah ini akan membahas tentang kerangka
dasar keilmuan Hermeneutika dan kontibusi Hermeneutika dalam pengembangan ilmu
social dan konsekuensinya dalam kerja ilmiah semoga dengan disusunnya makalah
ini dapat menjadikan wawasan kita semakin berkembang.
B.
Pengertian
Hermeneutika
Hermeneutika
berasal dari kata Yunani: hermeneuin, diterjemahkan menafsirkan, kata
bendanya hermeneia artinya tafsiran. Dalam tradisi kuno kata hermeneuin
dipakai dalam tiga makna, yaitu mengatakan (to say), menjelaskan (to
explain), dan menerjemahkan (to translate), dari tiga makna ini
kemudian dalam bahasa Inggris dieksplorasikan dengan kata: to interpret.
Dengan demikian perbuatan interpretasi menunjuk pada tiga hal pokok: pengucapan
lisan (an oral recitation), penjelasan yang masuk akal (a reasonable
explanation), dan terjehamahan dari bahasa lain (a translation from
another language) atau mengekspresikan. Menurut istilah, Hermeneutika biasa
dipahami sebagai ‘the art and science of interpreting especially
outhorytative writings; mainly in application to sacred scripture, and
equivalent to exegesis (seni dan ilmu menafsirkan khususnya tulisan-tulisan
berkewenangan, terutama berkenaan dengan kitab suci dan sama sebanding dengan
tafsif ada juga yang memahami Hermeneutika merupakan sebuah filsafat yang
memutuskan bidang kajiannya pada persoalan understanding of understanding
(pemahaman pada pemahaman) terhadap teks terutama kitab suci yang datang dari
kurun, waktu, tempat serta situasi social yang asing bagi para pembacanya.[2]
Dalam
perkembangannya, Hermeneutika terdapat beberapa pembahasan. Josep Blicher
membegi pembahasan Hermeneutika menjadi tiga, yaitu Hermeneutika sebagai sebuah
metodologi, Hermeneutika sebagai filsafat dan Hermeneutika sebagai kritik
sementara Richard E. Palmer menggambarkan perkembangan pemkiran Hermeneutika
menjadi enam pembahasan yaitu Hermeneutika sebagai teori penafsiran kitab suci,
Hermeneutika sebagai metode fisiologi, Hermeneutika sebagai pemahaman
linguistik, Hermeneutika sebagai fondasi dari ilmu social-budaya (geisteswissenschaft),
Hermeneutika sebagai fenomenologi dasein, dan Hermeneutika sebagai sistem
interpretasi.[3]
C.
Hermeneutika
sebagai pendekatan ilmu social
Focus
utama dari Hermeneutika social adalah menerobos otoritas paradigma positivism [4]
dalam ilmu-ilmu social dan humanities. Pembahasan Hermeneutika pada umumnya
merupakan problem filsafat ilmu (lebih tepatnya, problem metodologi), bukan
problem metafisika yang mempersoalkan tentang realitas. Hermeneutika merupakan
cara pandang untuk memahami relaitas, terutama realitas social seperti ‘teks’
sejarah dan tradisi.
Menurut
Dilthey, hermeneutika pada dasarnya bersifat menyejarah, ini berarti bahwa
makna itu sendiri tidak penah ‘berhenti pada satu masa’ saja, tetapi selalu
berubah menurut modifikasi sejarah. Jika demikian maka interpretasi bagaikan
benda cair, senangtiasa berubah-ubah tidak akan pernah ada suatu kanon atau
hokum untuk interpretasi. Sejarah bangsa Indonesia tidak akan mukin bia dituis
sekali dan berlaku untuk seterusnya, tetepi akan selalu ditulis kembali oleh
setiap generasi. Mungkin yang disebut ‘masa-masa kelam’ oleh sejarahwan yang
satu tidak akan disebut demikian oleh sejarahwan lainnya pada generasi
selanjudnya, yang mungkin menggunakan tolak ukur yang berbeda. [5]
Hermeneutika adalah upaya untuk memahami teks,
termasuk teks yang terkait dengan hokum Islam, yang berasal dari masa lampau.
Dialog yang terjadi dalam pembacaan teks dalam versi hermeneutika melibatkan
pemahaman tiga unsur sekaligus: teks, penulis, dan pembaca.[6]
Didalam Islam hermeneutika dikenal dengan Ushul Fikih. Didalam islam sendiri
terdapat problem metodologis yang terjadi pada waktu yang sangat panjang
berkutat pada masalah hokum, sumber hokum,
bahasa Ijtihad dan tarjih.[7]
Dalam agama Kristen Hermeneutika disebut dengan Analisis naratif yaitu suatu
metode untuk memehami dan mengkomunikasikan pesan alkitabiah yang sesuai dengan
bentuk kisah dan keesaksian personal, suatu yang merupakan cirri khas Kitab
suci dan suatu model fundamental dari komunikasi antar manusia. Karena itu pewartaan
iman Kristen pada dasarnya sama dengan rangkaian kisah yang menceritakan
tentang kehidupan, kematian dan kebangkitan Kristus sebagaimana dikisahkan oleh
kitab suci dan diwartakan kembali dalam bentuk kisah.[8]
D.
Konsekuensi
Terhadap Kerja Ilmiah
Pemikiran
hermeneutika Gadamer tidak bisa dilepaskan dari pemikiran Heidegger, senior dan
gurunya yang pemikirannya dikenal dengan fenomenologi design. Bagi Heidegger,
hermeneutika berarti penefsisiran terhadap sesnsi (being), yang dalam
kenyataannya selalu tampil dalam eksistensi. Sehingga suatu kebenaran tidak
lagi ditandai oleh kesesuaian antara konsep dan relaita objektif, tetapi oleh
tersingkapnya eksistensi tersebut. Dan satu-satunya wahana bagi penampakan
being tersebut adalah eksistensi manusia. Maka hermeneutika tidak bisa lain
dari penafsiran diri manusia itu sendiri (desain) melalui bahasa. Maka
menurut Heidegger, hermeneutika bukan sekedar fisiologi atau
geisteswissenschaft, akan tetapi merupakan cirri khas manusia. Memahami dan
menafsirkan adalah bentuk paling mendasar dari keberadaan manusia.
Usaha Heidegger ini memperoleh
respon positif dari Gadamer, ia menaruh minat pada kajian tentang keterkaitan
keberadaan manusia dan kemungkinan pemahaman yang bisa dilakukan. Untuk hal ini
ia menulis buku Truth and Methods, yang dengan kontribusi ini, ia anggap
mewakili kelompok ‘hermeneutika filosofis’. Studi filosofis ini sudah tentu
lebih menekankan pada masalah intrepretasi atau pemahaman, dari pada masalah
kepentingan (evidence) dan objektifitas kebenaran yang bisa dibuktikan
dengan verifikasi dan falsifikasi, sebagiamana filsafat positivisme abad
pencerahan. Bagi Gadamer problem itu tidak mukin dan tidak cocok diaplikaskan
dalam human and social sciences.[9]
Menurut
Dilthey mengatakan bahwa sejarah dapat dipahami dalam tiga proses:
1. Memahami
sudut pandang atau gagasan para pelaku asli.
2. Memahami
arti atau makna kegiatan-kegiatan mereka pada hal-hal yang secara
langsungberhubungan dengan peristiwa sejarah.
3. Menilai
peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan gagasan yang berlaku pada saat
sejarahwan itu hidup.
Namun proses tiga tahap pemahaman
itu sendiri tidak berlaku untuk kemtode ilmiah.alasannya karena untuk memahami
atau merencana sudut pandang pelaku asli dalam sejarah, kita harus memiliki
sedikit pengetahuan tentang psikologi atau cara mengenal orang atau masyarakat. Untuk dapat menilai akibat
tindakan seseorang terhadap orang lain kita harus menggunakan beberapa bentuk
eksplorasi atau penjajangan yang tidak harus mengikuti skema yang berhubungan
dengan objek.
- Penutup
Demikianlah
usalan singkat mengenai hermeneutika apabila disederhanakan hermeneutika
berasal dari Hermeneutika berasal dari kata Yunani: hermeneuin yang
artinya menafsirkan. Dalam perkembangannya, Hermeneutika terdapat beberapa
pembahasan. Josep Blicher membegi pembahasan Hermeneutika menjadi tiga, yaitu
Hermeneutika sebagai sebuah metodologi, Hermeneutika sebagai filsafat dan
Hermeneutika sebagai kritik sementara Richard E. Palmer menggambarkan
perkembangan pemkiran Hermeneutika menjadi enam pembahasan yaitu Hermeneutika
sebagai teori penafsiran kitab suci, Hermeneutika sebagai metode fisiologi,
Hermeneutika sebagai pemahaman linguistik, Hermeneutika sebagai fondasi dari
ilmu social-budaya (geisteswissenschaft), Hermeneutika sebagai fenomenologi dasein,
dan Hermeneutika sebagai sistem interpretasi.
Focus
utama dari Hermeneutika social adalah menerobos otoritas paradigma positivism,
dalam ilmu-ilmu social dan humanities. Pembahasan Hermeneutika pada umumnya
merupakan problem filsafat ilmu (lebih tepatnya, problem metodologi), bukan
problem metafisika yang mempersoalkan tentang realitas. Hermeneutika merupakan
cara pandang untuk memahami relaitas, terutama realitas social seperti ‘teks’
sejarah dan tradisi.
pendapat
Gadamer, dalam buku Truth and Methods, mengatakan objektifitas kebenaran
yang bisa dibuktikan dengan verifikasi dan falsifikasi. Bahkan Kerja ilmiah
Hermeneutika haruslah dapat dibuktikan dengan verifikasi dan falsifikasi.
F.
Daftar Pustaka
Didi Tarmedi,
Petrus Alexander, Analisis Naratif Sebuah Metode Hermeneutika Kristiani Kitab
suci. Dalam jurnal Melintas, Maret 2013
Fanani,
Ahwan, Ushul Fikih Versus hermeneutika tentang Pengambangan pemikiran Hukum
Islam Kontemporer. Dalam jurnal Islamica Vol. 4, No.2 Maret 2010
Muslih,
Mohammad, Filsafat Ilmu Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Krangka
Teori Ilmu Pengatahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2014)

Sumaryono, E, Hermeneutik Sebuah
Metode Filsafat (Yogyakarta: Kasnisius, 1999)
[1] Petrus Alexander Didi Tarmedi. Analisis naratif: Sebuah metode
Hermeneutika kristiani Kitab
suci. Department of Philosophy Parahyangan
Catholic University, Maret 2014
[2]
Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, Kajian atas
Asumsi Dasar, Paradigma dan Krangka Teori Ilmu Pengetahuan,
(Yogyakarta: Belukar, 2004),p.152
[3]
Ibid, p. 153
[4] Gagasan Comte tentang
ilmu-ilmu positif (Positivisme) ini mencapai puncaknya, saat disebut
‘pengetahuan ilmiah yang dimotori oleh kelompok Lingkaran Wina (Viena
Circle) pada abad ke-20, diantara pandangannya dapat disederhanakan sebagai
berikut: a. Mereka menolak perbedaan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu social; b.
Menganggap pernyataan-pernyataan yang tidak dapat diverivikasi secara empiris,
seperti etika, estetika, agama, metafisika, sebagai nonsense; c.
Berrusahamenyatukan semua ilmu pengetahuan didalam satu bahasa ilmiyah yang
universal (unified science); d memandang tugas filsafat hanya sebagai
analisis atas kata-kata atau pernyataan-penyataan.
[5]
E. Sumaryono.Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kasnisius),
p. 56
[6] Ahwan Fanani. Ushul
Fikih Versus hermeneutika tentang Pengambangan pemikiran Hukum Islam
Kontemporer. Dalam jurnal Islamica Vol. 4, No.2 Maret 2010, 199
[7]
Ibid, p. 194
[8]
Petrus
Alexander Didi Tarmedi, Analisis Naratif Sebuah Metode Hermeneutika Kristiani
Kitab suci. Dalam jurnal Melintas, Maret 2013
[9]
Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu......p. 157-158
No comments:
Post a Comment