Monday, December 15, 2014

Makalah hermeneutika


A.    Pendahuluan

Hidup manusia tidak lepas dari kisah, manusia adalah makhluk berkisah, mengkomunikasikan diri dengan kisah dan saling mengenal melalui kisah. Bahkan bisa dikatakan hidup manusia adalah kisah dan manusia beradaupakan  dalam jaringan kisah ini. Bambang Sugiharto mengatakan bahwa manusia adalah binatang yang bercerita, karenanya kisah merupakan salah satu identitas manusia yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya, betapa mengafumkan bahwa umat manusia dari segala jenis dan lokasi yang berbeda mampu berkomunikasi dan bahkan berkisah satu sama lain.[1]
Manusia adalah makhuk yang berkisah, dan dalam kisah manusia pasti membentuk sebuah peradaban dan peradaban itu pastinya dibukukan. Namun karena keterbatasan ilmu manusia dan perbedaan lokasi dan budaya menyebabkan perbedaan penafsiran. Tidak dapat dipungkiri perbedaan budaya mempengaruhi pola piker dan penafsiran seseorang. Karena itu makalah ini akan membahas tentang hermeneutika atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan penafsiran. Makalah ini akan membahas tentang kerangka dasar keilmuan Hermeneutika dan kontibusi Hermeneutika dalam pengembangan ilmu social dan konsekuensinya dalam kerja ilmiah semoga dengan disusunnya makalah ini dapat menjadikan wawasan kita semakin berkembang.





B.     Pengertian Hermeneutika

Hermeneutika berasal dari kata Yunani: hermeneuin, diterjemahkan menafsirkan, kata bendanya hermeneia artinya tafsiran. Dalam tradisi kuno kata hermeneuin dipakai dalam tiga makna, yaitu mengatakan (to say), menjelaskan (to explain), dan menerjemahkan (to translate), dari tiga makna ini kemudian dalam bahasa Inggris dieksplorasikan dengan kata: to interpret. Dengan demikian perbuatan interpretasi menunjuk pada tiga hal pokok: pengucapan lisan (an oral recitation), penjelasan yang masuk akal (a reasonable explanation), dan terjehamahan dari bahasa lain (a translation from another language) atau mengekspresikan. Menurut istilah, Hermeneutika biasa dipahami sebagai ‘the art and science of interpreting especially outhorytative writings; mainly in application to sacred scripture, and equivalent to exegesis (seni dan ilmu menafsirkan khususnya tulisan-tulisan berkewenangan, terutama berkenaan dengan kitab suci dan sama sebanding dengan tafsif ada juga yang memahami Hermeneutika merupakan sebuah filsafat yang memutuskan bidang kajiannya pada persoalan understanding of understanding (pemahaman pada pemahaman) terhadap teks terutama kitab suci yang datang dari kurun, waktu, tempat serta situasi social yang asing bagi para pembacanya.[2]
Dalam perkembangannya, Hermeneutika terdapat beberapa pembahasan. Josep Blicher membegi pembahasan Hermeneutika menjadi tiga, yaitu Hermeneutika sebagai sebuah metodologi, Hermeneutika sebagai filsafat dan Hermeneutika sebagai kritik sementara Richard E. Palmer menggambarkan perkembangan pemkiran Hermeneutika menjadi enam pembahasan yaitu Hermeneutika sebagai teori penafsiran kitab suci, Hermeneutika sebagai metode fisiologi, Hermeneutika sebagai pemahaman linguistik, Hermeneutika sebagai fondasi dari ilmu social-budaya (geisteswissenschaft), Hermeneutika sebagai fenomenologi dasein, dan Hermeneutika sebagai sistem interpretasi.[3]

C.     Hermeneutika sebagai pendekatan ilmu social

Focus utama dari Hermeneutika social adalah menerobos otoritas paradigma positivism [4] dalam ilmu-ilmu social dan humanities. Pembahasan Hermeneutika pada umumnya merupakan problem filsafat ilmu (lebih tepatnya, problem metodologi), bukan problem metafisika yang mempersoalkan tentang realitas. Hermeneutika merupakan cara pandang untuk memahami relaitas, terutama realitas social seperti ‘teks’ sejarah dan tradisi.
Menurut Dilthey, hermeneutika pada dasarnya bersifat menyejarah, ini berarti bahwa makna itu sendiri tidak penah ‘berhenti pada satu masa’ saja, tetapi selalu berubah menurut modifikasi sejarah. Jika demikian maka interpretasi bagaikan benda cair, senangtiasa berubah-ubah tidak akan pernah ada suatu kanon atau hokum untuk interpretasi. Sejarah bangsa Indonesia tidak akan mukin bia dituis sekali dan berlaku untuk seterusnya, tetepi akan selalu ditulis kembali oleh setiap generasi. Mungkin yang disebut ‘masa-masa kelam’ oleh sejarahwan yang satu tidak akan disebut demikian oleh sejarahwan lainnya pada generasi selanjudnya, yang mungkin menggunakan tolak ukur yang berbeda. [5]
Hermeneutika adalah upaya untuk memahami teks, termasuk teks yang terkait dengan hokum Islam, yang berasal dari masa lampau. Dialog yang terjadi dalam pembacaan teks dalam versi hermeneutika melibatkan pemahaman tiga unsur sekaligus: teks, penulis, dan pembaca.[6] Didalam Islam hermeneutika dikenal dengan Ushul Fikih. Didalam islam sendiri terdapat problem metodologis yang terjadi pada waktu yang sangat panjang berkutat pada masalah hokum, sumber hokum,  bahasa Ijtihad dan tarjih.[7] Dalam agama Kristen Hermeneutika disebut dengan Analisis naratif yaitu suatu metode untuk memehami dan mengkomunikasikan pesan alkitabiah yang sesuai dengan bentuk kisah dan keesaksian personal, suatu yang merupakan cirri khas Kitab suci dan suatu model fundamental dari komunikasi antar manusia. Karena itu pewartaan iman Kristen pada dasarnya sama dengan rangkaian kisah yang menceritakan tentang kehidupan, kematian dan kebangkitan Kristus sebagaimana dikisahkan oleh kitab suci dan diwartakan kembali dalam bentuk kisah.[8]

D.    Konsekuensi Terhadap Kerja Ilmiah
Pemikiran hermeneutika Gadamer tidak bisa dilepaskan dari pemikiran Heidegger, senior dan gurunya yang pemikirannya dikenal dengan fenomenologi design. Bagi Heidegger, hermeneutika berarti penefsisiran terhadap sesnsi (being), yang dalam kenyataannya selalu tampil dalam eksistensi. Sehingga suatu kebenaran tidak lagi ditandai oleh kesesuaian antara konsep dan relaita objektif, tetapi oleh tersingkapnya eksistensi tersebut. Dan satu-satunya wahana bagi penampakan being tersebut adalah eksistensi manusia. Maka hermeneutika tidak bisa lain dari penafsiran diri manusia itu sendiri (desain) melalui bahasa. Maka menurut Heidegger, hermeneutika bukan sekedar fisiologi atau geisteswissenschaft, akan tetapi merupakan cirri khas manusia. Memahami dan menafsirkan adalah bentuk paling mendasar dari keberadaan manusia.
            Usaha Heidegger ini memperoleh respon positif dari Gadamer, ia menaruh minat pada kajian tentang keterkaitan keberadaan manusia dan kemungkinan pemahaman yang bisa dilakukan. Untuk hal ini ia menulis buku Truth and Methods, yang dengan kontribusi ini, ia anggap mewakili kelompok ‘hermeneutika filosofis’. Studi filosofis ini sudah tentu lebih menekankan pada masalah intrepretasi atau pemahaman, dari pada masalah kepentingan (evidence) dan objektifitas kebenaran yang bisa dibuktikan dengan verifikasi dan falsifikasi, sebagiamana filsafat positivisme abad pencerahan. Bagi Gadamer problem itu tidak mukin dan tidak cocok diaplikaskan dalam human and social sciences.[9]
Menurut Dilthey mengatakan bahwa sejarah dapat dipahami dalam tiga proses:
1.      Memahami sudut pandang atau gagasan para pelaku asli.
2.      Memahami arti atau makna kegiatan-kegiatan mereka pada hal-hal yang secara langsungberhubungan dengan peristiwa sejarah.
3.      Menilai peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan gagasan yang berlaku pada saat sejarahwan itu hidup.
Namun proses tiga tahap pemahaman itu sendiri tidak berlaku untuk kemtode ilmiah.alasannya karena untuk memahami atau merencana sudut pandang pelaku asli dalam sejarah, kita harus memiliki sedikit pengetahuan tentang psikologi atau cara mengenal orang atau  masyarakat. Untuk dapat menilai akibat tindakan seseorang terhadap orang lain kita harus menggunakan beberapa bentuk eksplorasi atau penjajangan yang tidak harus mengikuti skema yang berhubungan dengan objek.





  1. Penutup
Demikianlah usalan singkat mengenai hermeneutika apabila disederhanakan hermeneutika berasal dari Hermeneutika berasal dari kata Yunani: hermeneuin yang artinya menafsirkan. Dalam perkembangannya, Hermeneutika terdapat beberapa pembahasan. Josep Blicher membegi pembahasan Hermeneutika menjadi tiga, yaitu Hermeneutika sebagai sebuah metodologi, Hermeneutika sebagai filsafat dan Hermeneutika sebagai kritik sementara Richard E. Palmer menggambarkan perkembangan pemkiran Hermeneutika menjadi enam pembahasan yaitu Hermeneutika sebagai teori penafsiran kitab suci, Hermeneutika sebagai metode fisiologi, Hermeneutika sebagai pemahaman linguistik, Hermeneutika sebagai fondasi dari ilmu social-budaya (geisteswissenschaft), Hermeneutika sebagai fenomenologi dasein, dan Hermeneutika sebagai sistem interpretasi.
Focus utama dari Hermeneutika social adalah menerobos otoritas paradigma positivism, dalam ilmu-ilmu social dan humanities. Pembahasan Hermeneutika pada umumnya merupakan problem filsafat ilmu (lebih tepatnya, problem metodologi), bukan problem metafisika yang mempersoalkan tentang realitas. Hermeneutika merupakan cara pandang untuk memahami relaitas, terutama realitas social seperti ‘teks’ sejarah dan tradisi.
pendapat Gadamer, dalam buku Truth and Methods, mengatakan objektifitas kebenaran yang bisa dibuktikan dengan verifikasi dan falsifikasi. Bahkan Kerja ilmiah Hermeneutika haruslah dapat dibuktikan dengan verifikasi dan falsifikasi.





F.       Daftar Pustaka

Didi Tarmedi, Petrus Alexander, Analisis Naratif Sebuah Metode Hermeneutika Kristiani Kitab suci. Dalam jurnal Melintas, Maret 2013
Fanani, Ahwan, Ushul Fikih Versus hermeneutika tentang Pengambangan pemikiran Hukum Islam Kontemporer. Dalam jurnal Islamica Vol. 4, No.2 Maret  2010
Muslih, Mohammad, Filsafat Ilmu Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Krangka Teori Ilmu Pengatahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2014)
 Filsafat Ilmu dan Posisinya Dalam Kegiatan Ilmiah dalam Makalah Pasca UNMUH Ponorogo Mata Kuliah Filsafat Ilmu, Nopenber 2014.
Sumaryono, E, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kasnisius, 1999)




[1] Petrus Alexander Didi Tarmedi. Analisis naratif: Sebuah metode Hermeneutika kristiani Kitab suci. Department of Philosophy Parahyangan Catholic University, Maret 2014
[2] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, Kajian atas  Asumsi Dasar, Paradigma dan Krangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2004),p.152
[3] Ibid, p. 153
[4] Gagasan Comte tentang ilmu-ilmu positif (Positivisme) ini mencapai puncaknya, saat disebut ‘pengetahuan ilmiah yang dimotori oleh kelompok Lingkaran Wina (Viena Circle) pada abad ke-20, diantara pandangannya dapat disederhanakan sebagai berikut: a. Mereka menolak perbedaan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu social; b. Menganggap pernyataan-pernyataan yang tidak dapat diverivikasi secara empiris, seperti etika, estetika, agama, metafisika, sebagai nonsense; c. Berrusahamenyatukan semua ilmu pengetahuan didalam satu bahasa ilmiyah yang universal (unified science); d memandang tugas filsafat hanya sebagai analisis atas kata-kata atau pernyataan-penyataan.
[5] E. Sumaryono.Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kasnisius), p. 56
[6] Ahwan Fanani. Ushul Fikih Versus hermeneutika tentang Pengambangan pemikiran Hukum Islam Kontemporer. Dalam jurnal Islamica Vol. 4, No.2 Maret  2010, 199
[7] Ibid, p. 194
[8] Petrus Alexander Didi Tarmedi, Analisis Naratif Sebuah Metode Hermeneutika Kristiani Kitab suci. Dalam jurnal Melintas, Maret 2013
[9] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu......p. 157-158

No comments:

Post a Comment